Rabu, 04 Juli 2012

MENGUBUR MENTAL FARISI (Renungan Iman GKE - Minggu, 01 Juli 2012)

Matius 21:28-32

Perumpamaan tentang dua orang anak dalam nas ini adalah perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus sendiri. Perumpamaan ini disampaikan-Nya dalam rangka mengkoreksi sikap hidup keagamaan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Dalam perumpamaan ini, Yesus membentangkan tentang seseorang yang memiliki dua anak laki-laki. Ia meminta anak yang sulung untuk bekerja di kebun anggurnya. Anak yang sulung pun berkata “Ya”, tetapi ia tidak pergi. Kemudian orang tersebut pergi kepada anak yang bungsu dan meminta hal yang sama. Anak yang bungsu berkata “Tidak”, tetapi kemudian ia menyesal dan akhirnya pergi juga bekerja ke kebun anggur (ay. 28-30).

Saudara, apa sebenarnya yang hendak dikatakan Yesus melalui perumpamaan-Nya ini? Nah, ini! Ada dua perbedaan yang sangat kontras dalam cara hidup keagamaan. Pertama, seperti yang dicontohkan dalam perumpamaan anak yang pertama, hanya sebatas “Ya” dalam mulut, tetapi tidak melaksanakan! Yang ke dua, seperti dicontohkan dalam perumpamaan anak yang ke dua, awalnya “Tidak” (menolak), tetapi kemudian ia menyesal (bertobat), dan akhirnya ia mengerjakannya dengan tindakan nyata! Dari perumpamaan Yesus ini, secara tersirat hendak mengatakan bahwa sikap hidup keagamaan orang Farisi dan ahli-ahli taurat itu, persis seperti yang diwakili oleh anak pertama dalam perumpamaan ini. Hanya “Ya” dalam ucapan, tetapi tidak benar dalam praktek atau tindakan. Hanya “Ya” dalam ibadah yang seremonila, tetapi tidak dalam hidup sosial.

Saudara, hampir setiap kali kita membaca tentang orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dalam Alkitab, selalu kita memperoleh kesan yang negatif. Negatif, karena sikap yang mereka tunjukan. Yang merasa paling saleh. Yang merasa sudah sempurna dalam menjalankan hukum-hukum agama, dan layak jadi penghuni sorga! Yang lain berdosa, calon penghuni neraka! Dalam Alkitab, khususnya dalam kitab-kitab Injil kita dapat melihat beberapa di antaranya sikap mereka.

Pertama: mereka selalu menganggap dirinya benar, suci dan istimewa. Paling benar dalam menjalankan perintah agama. Yang lain kafir dan berdosa! Yang perlu dijauhi, supaya tidak terjangkit virus dosanya! Ya, agama yang hanya berfungsi sebagai sarana mengukur kesalehan rohani pribadi atau kelompok sendiri. Ya, agama yang hanya sebagai alat untuk menghakimi orang lain. Kita juga dapat membaca bahwa mereka suka memamerkan kesalehannya, merasa paling berharga, harus dihargai dan dihormati. Bukan sebaliknya! Ingin dihargai dan dihormati itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu yang wajar. Setiap orang wajar menginginkannya. Wajar untuk mendapatkannya. Tapi masalahnya, bila hanya ingin dihargai dan dihormati tetapi tidak perrnah menghargai orang lain?! Mengejar kebenaran atau kesucian itu juga seharusnya dilakukan setiap orang. Bahkan hal tersebut justru dianjurkan oleh Tuhan. Tapi masalahnya, apabila selalu menganggap diri benar, menganggap diri sendirilah yang suci lalu menjadi alat untuk menghakimi bahwa orang lain selalu salah, kelompok lain tidakselalu tidak benar?

Kedua: Mereka adalah orang-orang yang selalu mencari kesalahan orang lain, tatapi mereka sendiri tidak pernah mengakui dan menyadari kesalahan, kelemahan dan dosa-dosa mereka. Wah...wah...wah...! Celakanya lagi bila sampai merasa diri tidak pernah salah, tidak pernah keliru, tidak pernah berdosa. Waduh...ini pasti kesombongan namanya. Kemunafikan istilahnya! Jika mental Farisi dan Ahli Taurat semacam ini sampai melanda persekutuan gereja, tentu tidak mungkin ada persekutuan yang balk, tidak mungkin adanya saling mengasihi. Yang ada tentulah saling membenarkan diri, saling menyalahkan, saling merasa berharga, dan seterusnya... Saudara, selalu suka mencari kelemahan dan kesalahan orang lain sebenarnya adalah ungkapan perasaan hati terselubung yang dihiasi sifat dengki dan kebencian secara menyamar. Sifat yang pada dasarnya hanya untuk menutupi kekurangan diri sendiri. Takut karena perasaan tersisih, tersaingi atau merasa kalah dari orang lain.

Saudara, apabila kita mencari kesalahan orang lain, ya memang selalu ada. Semakin kita mencari kesalahan dan kekurangan orang lain, ya tentu semakin banyak yang kita dapatkan. Andaikata hal demikian kita lakukan, sebaiknya kita menyadari, apakah saya juga tidak memiliki kekurangan-kekurangan, kesalahan-kesalahan atau juga dosa-dosa? Jangan-jangan kesalahan, kelemahan dan dosa kitea jauh lebih besar dari orang lain! Ibaratkan telunjuk kita, jika menunjuk ke arah oorang lain, makea pada saat yang sama kits harus menyadari bahwa masih ada tiga bahkan empat jari yang lain menunjuk ke arah diri kita. Melalui kebenaran firman Tuhan ini kita diingatkan supaya menjalani hidup secara baik dan positif. Tidak terlalu suka mencari kelemahan dan kesalahan orang lain. Orang dapat menghargai kita sebenarnya juga tergantung dari cara kita menghargai orang lain. Orang menjadi senang itu pun tergantung dari apa yang kita laku¬kan sehingga orang menjadi senang.

Karena itu marilah kita mengoreksi diri masing-ma¬sing, kita bercermin dari terang kebenaran firman Tuhan ini, supaya jika ada mental Farisi dan Ahli Taurat menghinggapi persekutuan kita, akan kita kubur dalam-dalam. Dan jika ada, maka juga langkah paling bijaksana yang harus dilakukan adalah "per¬tobatan". Bertobat berarti kita bersedia menanggalkannya, lalu menguburnya dalam-dalam kemudian mengarahkan hidup kita pada jalan hidup yang berkenan kepada Tuhan. Pada dasarnya tidak ada seorang manusia juapun di dunia ini (kecuali Yesus) yang tidak pernah keliru, tidak pernah melakukan kesalahan. Tetapi itu tidak mengapa, andai ada pertobatan. Yesus sendiri berkata: "Demikian juga akan ada sukacita di sorga karma satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karna sembila puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan" (Luk.15:7). AMIN! 


* By : Krstinus Unting (KU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar