Kamis, 12 Juli 2012

KELEDAI DI MINGGU PALMA Bak pemimpin politik, Yesus memasuki kota Yerusalem. Orang-orang, yang mendengar bahwa Yesus sedang di tengah jalan menuju Yerusalem, berhamburan keluar. Mereka mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru-seru: ”Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!” (Mat. 21:9).Hosana merupakan aliterasi dari bahasa Ibrani yang berarti selamatkan kami. Dalam seruan itu tersirat harap: Yesus menyelamatkan Israel dari belenggu Roma. Dan tindakan penyelamatan itu diharapkan muncul dari Pribadi yang mengendarai keledai. BELAJAR DARI KELEDAI Marilah kita arahkan mata-hati kita pada keledai yang menjadi tunggangan Yesus orang Nazaret. Ketika mendengar kata ”keledai”, mungkin yang tergambar dalam benak kita ialah binatang lamban, lemah, bahkan bodoh. Gambaran yang tidak sepenuhnya salah. Dari segi kecepatan, Keledai (Equus asinus) memang tak bisa disamakan dengan kuda (Equus caballus), meski keduanya satu genus. Dalam mekanika dikenal istilah ”tenaga kuda” yang merupakan ukuran kemampuan mesin. Tak ada istilah ”tenaga keledai”. ”Pacuan kuda”—yang sering menjadi ajang judi— juga lebih lazim terdengar ketimbang ”pacuan keledai”. Keledai memang tak seagresip kuda. Jalannya lambat. Saking lambatnya terkesan malas. Tak punya inisiatif. Ada peribahasa ”Seperti keledai.”Artinya: bodoh atau keras kepala. Ada lagi peribahasa ”Keledai hendak dijadikan kuda.” Artinya: orang bodoh hendak dipandang sebagai orang pandai. Dalam kedua peribahasa itu, keledai dipandang sebagai binatang bodoh. Tak heran, banyak orang tersinggung kala dijuluki: ”keledai”. Namun, jangan pula kita lupa, ada peribahasa baik tentang keledai: ”Keledai tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Peribahasa itu berarti sebodoh-bodohnya keledai, binatang itu toh belajar dari pengalaman. Kegagalan dijadikannya pelajaran agar tidak terulang lagi. Keledai belajar dari sejarah. Anehnya, manusia (Homo Sapiens ’manusia yang berpikir’) malah sering mengulangi kesalahan yang sama. Manusia agaknya perlu belajar dari keledai perihal memetik kearifan masa lampau. Hanya itukah? Tidak. Keledai merupakan binatang pekerja berat. Dia bukan pemalas. Jalannya memang lambat, tetapi semua tugas dituntaskannya. Keledai jelas mempunyai ketahanan kerja tinggi. Aton, bahasa Ibrani untuk keledai, mengacu pada daya tahannya. Dalam sehari keledai sanggup berjalan sejauh 30 kilometer. Meski lambat, keledai konsisten menjalani panggilannya. Dia tidak pernah mutung. TUHAN MEMERLUKANNYA Pada masa itu di Palestina, keledai bukanlah hewan yang dianggap hina, melainkan terhormat. Bila raja pergi berperang, ia akan mengendarai kuda. Jika raja datang dengan maksud damai, ia akan mengendarai keledai. Yesus masuk ke Yerusalem bukan untuk menaklukkannya secara politis, melainkan untuk menyerahkan diri-Nya. Dia datang bukan untuk berperang, melainkan menawarkan damai. Bukan paras garang, tetapi paras lemah lembutlah yang ditampilkan-Nya. Yesus datang dalam damai dan demi kedamaian. Dan keledai merupakan simbol perdamaian. Keledai menjadi wahana kedatangan Yesus ke Yerusalem. Meski tak dianggap oleh kebanyakan orang karena tak segagah kuda, lamban, dan terkesan bodoh, keledai dihargai Sang Guru dari Nazaret. Bahkan, kepada para murid yang diutus untuk menjemput keledai tersebut, Yesus berpesan, ”Tuhan memerlukannya.” Tuhan memerlukannya! Yesus—Allah yang menjadi Manusia—tak sungkan untuk mengaku bahwa Dia membutuhkan pertolongan keledai muda itu. Yesus tidak menyembunyikan kenyataan tersebut, Dia berkata dengan terus terang. Dia sungguh-sungguh membutuhkan keterlibatan keledai dalam menggenapi misi-Nya: menjadi pendamai antara Allah dan manusia. Yesus memang membutuhkan peran serta keledai yang belum pernah ditunggangi orang. Kenyataan itu selaras pula dengan maksud kedatangan-Nya ke Yerusalem. Hewan yang akan digunakan untuk maksud suci haruslah hewan yang belum pernah dipakai untuk tujuan apa pun. Keledai muda itu secara tidak langsung diangkat menjadi rekan sekerja Yesus dalam menuntaskan misi-Nya: menjadi Juruselamat dunia. Menjadi rekan sekerja Yesus dan menjadi simbol perdamaian merupakan tugas yang mesti dijalani keledai muda itu. Tak ada paksa memaksa di sini. Yesus tidak memaksa keledai tersebut untuk tunduk kepada-Nya. Sebaliknya, sang keledai pun kelihatannya pasrah bongkokan ’menerima tanpa syarat’ kala para murid menghamparkan pakaian mereka di atas punggungnya. Tak ada pemberontakan. Yang ada hanyalah kerelaan terlibat dalam karya Tuhan. Dia bersikap laksana hamba Tuhan: tak menolak kerja dan rindu menyenangkan hati Tuhannya.Bahkan, sang pemilik keledai itu pun, tak berkuasa untuk menolak permintaan Yesus. Lagi pula siapa yang bisa menolak Tuhan jika Dia memang memerlukannya? Di Minggu Palma ini kita kembali menyaksikan Allah yang menjadi Manusia itu memasuki Yerusalem. Kedatangan-Nya memang hendak menggenapkan janji Allah dalam diri-Nya. Dia datang ke Yerusalem memang untuk mati. TUHAN MEMERLUKAN KITA? Yang sungguh perlu kita pikirkan sekarang ini: Apakah Tuhan memerlukan kita? Jangan pikirkan perkara-perkara besar atau tugas-tugas besar! Keledai di Minggu Palma hanya mengerjakan bagiannya. Dia tidak mengubah diri menjadi kuda perang. Itu memang mustahil dilakukannya. Dia menjadi dirinya sendiri. Namun, ia menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ya, apakah Tuhan memerlukan kita? Untuk tugas apa? Mungkin untuk menjadi seorang eyang yang baik atau orang tua yang baik atau untuk menjadi aktifis yang baik atau anggota majelis yang baik atau menjadi karyawan yang baik atau menjadi majikan yang baik. Baik di sini berarti kita mampu mengerjakan semua yang Tuhan berikan kepada kita untuk ditanggungjawabi. Sekali lagi, apakah Tuhan memerlukan kita? Jika Saudara sudah mendapatkan jawabannya, maukah Saudara memenuhi panggilan Tuhan itu? Pdt. Ir. Yoel M. Indrasmoro, S.Th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar