Jumat, 25 November 2011

Kehidupan Rohani ibarat Maraton


Philip Yancey
Selama dua puluh tahun saya sudah berlari, naik sepeda atau melakukan latihan aerobik lainnya paling sedikit tiga kali seminggu. Saya melakukan itu bukan karena ada yang memaksa saya, dan jelas bukan karena rasanya enak - jarang demikian - tetapi lebih karena itu memungkinkan saya menikmati hal-hal lain. Saya bisa mendaki gunung dan berski di pergunungan Rocky tanpa tersengal-sengal kehabisan nafas atau kram otot. Itu adalah upah disiplin fisik.
Dalam 1 Timotius 4.8 Rasul Paulus menarik paralel yang memang terlihat jelas: 'Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.'
Saya sudah berlari dalam sejumlah pertandingan jarak menengah, tetapi hanya satu maraton. Setidaknya untuk amatir yang baru pertama kali ikut, maraton tampak berbeda dengan semua peristiwa atletik. Dibutuhkan waktu sangat lama bagi saya - tiga jam setengah, dibandingkan empat puluh menit untuk pertandingan 10 kilometer - di mana saya harus bergulat mempertahankan fokus mental. Dalam pertandingan-pertandingan yang lebih pendek, saya selalu mampu menyadari apa yang saya lakukan, berapa jauh jarak yang masih tersisa, sebaik apa saya dibandingkan waktu tempuh yang saya inginkan.
Dalam maraton, saya merasa seperti memakai penutup mata, tidak mampu berkonsentrasi pada pertandingan itu sebagai keseluruhan. Perhatian saya terpusat pada nyeri di ibu jari kaki kiri saya, penuhnya kandung kencing saya, atau otot betis kanan saya yang berdenyut-denyut. Berlari di tengah hujan dan udara dingin di Chicago, saya bisa merasakan blister terbentuk di kaki saya akibat gesekan dengan kaos kaki basah. Saya mengenakan jaket, kemudian melepaskannya. Saya mengalami suasana hati gembira dan putus asa tanpa alasan yang jelas. Terus berlari, kata saya dalam hati. Ini pasti ada akhirnya. Satu-satunya cara untuk sampai ke garis akhir adalah dengan terus berlari.
Seorang teman setuju untuk menemui saya di tanda sepuluh mil, dan ketika ia ternyata tidak ada, saya tenggelam dalam depresi yang berlangsung selama lima mil. Saya memaksa diri saya untuk memandang para pelari di sekeliling saya, mengamati lingkungan Chicago, mendengarkan band yang ditempatkan di sepanjang rute, dan ketika saya melakukan itu, sekali lagi saya kehilangan jejak akan pertandingan dan tempat saya di dalamnya. Saat saya melewati tanda tujuh belas mil, terdengar gemuruh sorak orang banyak yang baru mendengar di radio bahwa pelari pertama sudah melintasi garis finis. Saya masih harus berlari sembilan mil.
Pada tanda dua puluh mil, saya menabrak Tembok Legendaris itu dan tergoda untuk memperlambat menjadi berjalan. Kemudian teman saya akhirnya muncul, dan untuk pertama kalinya ada seseorang yang bisa saya ajak bicara. Chicago menutup begitu banyak jalan sampai ia tidak bisa tiba di tanda sepuluh mil, katanya menjelaskan sambil berlari di sebelah saya. Dalam tindakan persahabatan yang tidak terlupakan, Dave, yang merasakan kelemahan saya, menemani saya berlari dengan pakaian sehari-hari sepanjang enam mil yang masih tersisa, untuk memberi saya dorongan.
Di lima tempat, Perjanjian Baru menyerupakan kehidupan Kristen dengan perlombaan, dan saya hampir berani memastikan, jika saja Paulus menulis ini, ia akan menyebutkan secara spesifik perlombaan itu sebagai maraton. Dua puluh enam mil yang saya tempuh dengan berlari mencakup semua emosi manusia.
Perasaan-perasaan singkat, puncak gairah atau keputus-asaan, semua memudar dengan cepat. Apa yang membuat saya terus bertahan adalah kesabaran, kegigihan, dan akhirnya dorongan teman saya. Belakangan, ketika saya memandang kembali perlombaan itu, suasana hati saya yang naik turun sesuai dengan perkiraan pola yang digambarkan majalah olahraga sebagai sesuatu yang normal. Namun di tengah pertandingan itu, saya tidak memiliki perspektif, hanya keputusan langkah demi langkah untuk terus berlari sampai akhir.
"Jika kau tidak bisa terbang, berlarilah. Jika kau tidak bisa berlari, berjalanlah. Jika kau tidak bisa berjalan, merangkaklah, tetapi bagaimanapun tetaplah maju," kata Martin Luther King Jr dulu kepada para pejuang hak-hak sipil.
Nasihatnya juga sama sesuainya bagi pelari maraton dan orang Kristen. Kehidupan dengan Tuhan bergerak seperti setiap hubungan: tertatih-tatih, dengan kesalahan-pahaman dan periode-periode panjang kebisuan, dengan kemenangan dan kegagalan, ujian dan keberhasilan. Untuk mencapai kesempurnaan yang menarik kita pada pencarian itu, kita harus menunggu sampai perlombaan berakhir, sampai kematian, dan penantian itu sendiri merupakan tindakan iman dan membutuhkan keberanian yang luar biasa.
(Dikutip dari Mencari Tuhan yang Tidak Terlihat oleh Philip Yancey, terbitan Gospel Press)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar