Jumat, 25 November 2011

Kamu akan Mengetahui Kebenaran

Dwight A. Pryor
Tidak banyak firman dari Yesus yang lebih terkenal atau lebih banyk dikutip daripada firman yang satu ini: "dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Firman yang lestari ini terpampang dengan megah di gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat di Washington D.C., mendapat tempat yang sangat dihormati di lingkungan kebudayaan barat. Sayangnya, firman tersebut seringkali disalahartikan dalam alam pikiran Kristen kita. Untuk bisa memahaminya dengan lebih baik, kita perlu untuk kembali ke alam pikiran orang Yahudi, di mana Mesias kita dulu pernah menjalankan pelayanannya.
Sumber kebudayaan dari masyarakat barat, yakni kebudayaan Yunani, sangat menghargai kebenaran, jauh mengatasi hal yang lainnya. Puncak pencapaian yang dikejar dalam filsafat mereka adalah Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan. Sangat jarang di antara kita yang sadar bahwa Yesus dari Nazaret itu bukanlah seorang filsuf Yunani! Dia adalah seorang Rabi Yahudi. Misi-nya lebih sejiwa dengan misi nabi Musa daripada Sokrates. Pandangan hidup dan nilai-nilai yang dipegang oleh Yesus tidak dibentuk oleh paham Helenisme Yunani dan Romawi, melainkan oleh pandangan dunia (worldview) orang Ibrani dari Alkitab dan tradisi-tradisi kaum Yahudi.
Dalam pandangan kaum Yahudi zaman Yesus, mengejar pemahaman tentang kebenaran itu tidak sepenting pelaksanaan kebenaran itu sendiri. Kebenaran itu sudah diberikan - dalam wujud petunjuk (Taurat) dan pewahyuan dari Yang Mahakudus, Allah Israel. Dengan demikian, maka tugas terpenting dari para rabi adalah menafsirkan dengan benar wahyu ilahi yang tertuang dalam Kitab Suci Israel, serta mengajarkannya kepada murid-murid mereka melalui ceramah dan teladan, yakni tentang bagaimana menjalankan kehendak Allah. Kegenapan dari hidup - agar bisa mengikuti rencana Allah dan diberkati oleh Dia - terwujud dalam hal mendengar dan mentaati firman-Nya.
Belajar Kitab Suci adalah hal yang luar biasa penting dalam tradisi Yahudi karena Taurat (Ajaran) itu sudah diberikan oleh Allah. Kegiatan belajar yang menghasilkan ketaatan dipandang sebagai wujud penyembahan tertinggi pada Yang Mahakuasa. Seorang cendekiawan Yahudi terkemuka, Abraham Joshua Heschel, menjelaskannya sebagai berikut: "Orang Yunani belajar untuk bisa mengerti; orang Israel belajar untuk bisa taat."
Talmud Torah (studi Firman Allah) menjadi landasan bagi kehidupan beragama di zaman Yesus - di dunia abad pertama. Berbeda dengan cara pandang orang Yunani kuno, kegiatan belajar orang Yahudi bukan satu 'kegiatan untuk menghabiskan waktu' untuk kalangan tertentu - melainkan suatu kegiatan seumur hidup untuk semua orang. Bukan sekadar untuk memuaskan hasrat ingin tahu kaum tertentu di kala santai, kegiatan belajar, sebagai wujud ibadat adalah peristiwa yang mengubah cara hidup orang yang ingin melayani Allah.
Kegiatan belajar adalah pengabdian yang melibatkan segenap keberadaan dari seseorang - mencakup jiwa, hati, pikiran dan kekuatannya. Lebih dari sekadar mengejar sesuatu yang kudus, kegiatan belajar adalah tindakan mengejar yang Kudus itu sendiri.
(Dwight A. Pryor adalah Pendiri dan Presiden Center for Judaic-Christian Studies. Dia juga salah satu pendiri Jerusalem School of Synoptic Research di Israel. Ketika sedang belajar di Israel, beliau tiba pada kesadaran betapa penting dan perlunya memahami Kekristenan lewat akar dan dimensi Ibraninya.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar