Jumat, 25 November 2011

Di Manakah Tuhan?





Pada tanggal Mei 29 baru-baru ini Paus Benedict yang berasal dari Jerman mengunjungi kamp maut Auschwitz, Poland dan bertanya mengapa Allah berdiam diri di saat 1.5 juta orang (kebanyakannya orang Yahudi) dibunuh di dapur api para tentara Nazi Jerman. Dalam ucapannya beliau berkata, "Di tempat seperti ini, kata-kata gagal. Pada akhirnya, yang ada hanyalah keheningan yang menakutkan, keheningan yang merupakan satu seruan dari hati kepada Tuhan - Mengapa Tuhan, mengapa Engkau tetap diam? Bagaimana Engkau menolerir semuanya ini?"
Diperkirakan sebanyak 6 juta jiwa yang mati di bawah kekuasaan Hitler. Paus Benedict melanjutkan dengan bertanya, "Di manakah Tuhan di waktu itu? Mengapa Ia diam? Bagaimana mungkin Ia mengizinkan pembantaian yang ngeri ini, kejahatan ini?
Elie Wiesel, pemenang Nobel Peace Prize, yang lolos dari maut di dapur api tetapi kehilangan ibu, kakak dan ayahnya di Auschwitz, menulis di dalam bukunya, Night, "Tidak akan pernah saya melupakan malam itu, malam pertama di kamp, yang telah mengubah hidup saya menjadi satu malam yang panjang, tujuh kali terkutuk, tujuh kali termeterai. Tidak akan pernah saya melupakan asap itu. Tidak akan pernah saya melupakan wajah mungil anak-anak, yang tubuh-tubuhnya saya saksikan berakhir menjadi lingkaran-lingkaran asap di bawah langit biru yang hening. Tidak akan pernah saya melupakan api-api yang menghanguskan iman saya buat selama-lamanya. Tidak akan pernah saya melupakan keheningan malam itu yang menghilangkan buat selama-lamanya keinginan saya untuk hidup. Tidak akan pernah saya melupakan saat-saat itu, yang telah membunuh Tuhan saya dan jiwa saya dan mengubah impian saya menjadi debu. Tidak akan pernah saya melupakan hal-hal itu, sekalipun jika saya dikutuk untuk hidup selama Tuhan sendiri hidup. Tidak akan pernah."
Bagi Elie Wiesel, penderitaan yang disaksikannya di Auschwitz membunuh Tuhannya, tidak lagi ada Tuhan bagi dirinya. Tidak mungkin kita dapat menyelami perasaan Wiesel, sebagaimana kita tidak akan mungkin sepenuhnya berkongsi rasa dengan orang yang harus menderita tanpa mengetahui mengapa mereka harus menderita. Apakah dosa dan kesalahan anak-anak kecil yang membuat mereka harus berakhir di dapur api kamp Auschwitz? Tidak mungkin kita tidak bertanya "mengapa" setiap kali kita melihat penderitaan dahsyat menimpa orang-orang yang menurut kita tidak layak menerimanya. Ketika Ayub yang tinggal di tanah Us sekitar 4000 tahun dulu harus menderita dengan kejam tanpa mengetahui alasannya, ia berkata "Tuhan membinasakan yang tidak bersalah dan yang bersalah." (Kitab Ayub pasal 9, ayat 22)
Apakah yang sebenarnya terjadi di balik tirai surga? Di upacara di Auschwitz itu, Paus Benedict menyimpulkan, "manusia tidak dapat melihat ke dalam rencana Tuhan yang misterius, kita hanya dapat berseru dengan rendah hati namun secara terus menerus kepada Tuhan - 'Bangkitlah! Jangan melupakan umat manusia, makhlukmu!'"
Mau tidak mau kita harus menanyakan pertanyaan yang sulit ini: Sudahkah Tuhan melupakan umatnya? Apakah Tuhan sudah mati seperti yang diyakini Elie Wiesel pada waktu itu? Ataukah Tuhan tidak lagi peduli? Saya kira setiap dari kita harus mencari sendiri jawaban kepada persoalan ini. Ayub setelah pergumulan yang panjang dan melelahkan akhirnya menemukan jawaban tersebut bagi dirinya. Bagaimana dengan kita?

 Sumber : Terjemahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar